"Saya sebetulnya datang ke Tasik ini malu. Karena apa? Di sini ada suatu tokoh yang luar biasa yang harus menjadi cermin untuk kita semuanya," ucapnya.
Habib menyebut, sebelumnya dia mengira jika jarak ke Pamijahan hanya beberapa kilometer atau sepuluh kilometer saja. Namun, di Pamijahan, di tempatnya yang masih naik lagi yang begitu hebat.
"Ada apa ini beliau (Syekh Abdul Muhyi) ko memilih tempat yang demikian? Ternyata setelah saya pelajari, satu untuk kepentingan kholwat secara tidak langsung dalam tarekatnya, dan yang kedua, bagaimana beliau menarik umat ini orang manjat atau naik tanjakan itu perlu waktu, perlu kesehatan dan sebagainya. Ini pendidikan yang luar biasa dari Syekh Abdul Muhyi Khususnya," ujar Habib Luthfi.
"Jadi kalau kita melihat perjuangannya para beliau, saya ucapkan karena kalian memiliki Syekh Muhidin atau Syekh Abdul Muhyi Pamijahan itu cermin yang luar biasa. Kalau kita mau melihat sejarah beliau, malu rasanya kalau kita-kita ini tidak mampu menjadi cermin ummat, kalau kita-kita ini tidak mampu menjadi cermin bangsa, malu rasanya kalau kita ini tidak menjadi cermin rakyat," tuturnya.
Menurut Habib Luthfi, contoh yang diberikan Syekh Abdul Muhyi tidak percuma."Apasih sebenarnya tarekat itu kalau kita katakan? Apa tarekat umpanya tiasa lempang di atas cai? (bisa berjalan di atas air) Eta tarekat? Henteu (Itu tarekat? Tidak). Naon tarekat teh? Itu nu bisa hibeur. Eta taraket? Henteu. (Apa tarekat itu? Itu yang bisa terbang. Itu tarekat? Tidak). Naon bade asup tarekat? Ameh benghar. Nya lain eta tarekat mah.
(Apa mau masuk tarekat? Biar kaya. Ya bukan itu tarekat)," ungkapnya.
Editor : Asep Juhariyono