Aktivis HMI Soroti Inkonsistensi Pemkot Tasikmalaya Sikapi Budaya Pengiriman Karangan Bunga di Jabar

Dalam puisi, bunga sering diibaratkan sebagai simbol penghormatan, doa, atau bahkan kesedihan yang tersembunyi di balik kelopak-kelopak yang akan layu.
Namun, ketika kebiasaan mengirim karangan bunga berubah menjadi sekadar ritual tanpa substansi, di mana ia hanya berdiri di tepi jalan untuk dipajang tanpa ada makna yang benar-benar tersampaikan, maka tradisi ini patut dipertanyakan.
"Jika pesan yang ingin disampaikan adalah penghormatan dan apresiasi, bukankah lebih baik dalam bentuk yang lebih nyata dan bermanfaat? Seperti memberikan benih padi yang kelak akan tumbuh dan memberi kehidupan, bukan sekadar bunga yang indah sesaat lalu mati," ungkapnya.
Menurutnya, apabila imbauan dari gubernur bertujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap sektor pertanian, maka seharusnya pemerintah daerah, khususnya wali kota Viman Alfarizi dan wakil wali kota Diky Chandra, juga mengambil langkah konkret dalam mendukung gagasan tersebut, bukan malah membiarkan tradisi karangan bunga terus berlangsung tanpa ada upaya pengalihan ke bentuk apresiasi yang lebih produktif.
Cepi menegaskan bahwa pernyataan gubernur harus dijalankan secara merata dan tidak boleh bersifat simbolis semata. Jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengajak masyarakat untuk mengganti budaya karangan bunga dengan sesuatu yang lebih bermanfaat, maka pemerintah daerah, termasuk Kota Tasikmalaya, juga harus mengambil peran aktif dalam mensosialisasikan dan menegakkan aturan tersebut.
Editor : Asep Juhariyono