Perkampungan itu sengaja dibakar untuk dijadikan jalan alternatif sehingga kendaraan Belanda bisa melintas. Pasalnya jalan yang biasa dilintasi telah dirusak dengan cara ditimbun dengan pepohonan dan bahkan dibuatkan lubang-lubang sehingga tak bisa dilalui.
“Kalau kata kakek saya almarhum, saat peristiwa itu terjadi rakyat semua disana dikerahkan oleh tentara dalam aksi pengepungan tersebut. Dari ceritanya, lebih dari satu desa digerakkan.
Hingga cukup membuat pusing Belanda, yang kemudian setiap hari menembaki wilayah Salawu dengan pesawat. Namun katanya rakyat diajari cara-cara menghindar dari tembakan pesawat oleh tentara, bagaimana caranya sembunyi dan berkamuflase,” tutur Wiwin (35), cucu almarhum Suhandi yang merupakan salah seorang pejuang pada peristiwa tersebut.
Namun ternyata, berdasarkan informasi yang dihimpun. Aksi heroik itu hanya dipimpin oleh lima orang tentara dari Divisi Siliwangi yang dikomandoi Lukito, yang merupakan anak buah dari SL Tobing.
Sehingga aksi tersebut nyata sebagai salah satu bentuk kemanunggalan antara TNI bersama rakyat pada masa itu.
Diharapkan, prasasti itu bukan hanya sebagai pengingat saja. Namun kisah heroik itu bisa terus diceritakan kepada anak-anak dan generasi berikutnya, sehingga jasa-jasa perjuangan orangtuanya dulu dijadikan penyemangat dalam tetap menumbuhkan kecintaan terhadap negaranya.
Tidak seperti prasasti itu, yang kini kondisinya tidak terawat. Lusuh dan nyaris sudah tidak terbaca serta luput dari perhatian.
Editor : Asep Juhariyono