TASIKMALAYA, iNews.id – Di sudut belakang lapang sepakbola Desa Salebu, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, terdapat sebuah prasasti. Tugu ini yang nyaris luput dari perhatian masyarakat yang melintas daerah tersebut.
Padahal, prasasti tersebut sengaja dibuat sebagai pengingat jika di tempat itu pernah terjadi peristiwa heroik yang melibatkan masyarajat setempat disana dalam perjuangan melawan penjajah Belanda.
Mungkin karena bangunannya tidak mencolok, hanya berupa tembok persegi berwarna putih dengan tulisan pada batu marmer yang sudah kusam dan nyaris tidak terbaca.
Sehingga setiap orang yang melintas tidak akan menyangka jika tembok yang berdiri tepat di deretan warung pinggir jalan itu merupakan sebuah prasasti.
“Jarang sekali ada yang datang untuk sekedar memperhatikan apalagi bertanya berkenaan dengan prasasti itu. Tahun 2022 ini baru ada yang nanya dan motret hanya Anda sendiri.
Sedangkan pada tahun 2021 kemarin, rasanya tidak ada sama sekali,” kata Aan Abdulah (40) warga pemilik warung yang ditanya berkenaan dengan prasasti tersebut.
“Dijalan tikungan Cidolog, Salebu, Singaparna, pada medio September 1947, Kompi Lukito (BAT.S.L. TOBING) mengadakan penghadangan terhadap iring-iringan konvoi yang membawa Jenderal Buurman van Vreeden, Kepala Staf Umum Tentara Belanda. Bisa dikacaukan sehingga dokumen-dokumennya termasuk stempel jatuh ditangan kita.”
Begitulah kalimat yang tertulis pada prasasti tersebut. Prasasti itu ditandatangani Ketua I DHC A.45 Kab Tasikmalaya, Abas Herawan dan Panglima Divisi Siliwangi Pertama Jendral Besar TNI / Purn Dr A H. Nasution.
Prasasti sengaja ditempatkan disana, karena pertempuran sengit terjadi di lokasi ini. Rakyat Salawu bersama tentara bahu membahu melakukan penghadangan terhadap konvoi pasukan penjajah yang mengawal seorang Jendral Belanda.
Namun tidak ada informasi korban yang jatuh dari kedua belah pihak dalam pertempuran sengit tersebut. Hanya disebutkan jika kala itu Kampung Tanjaknangsi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, dibumihanguskan oleh Belanda.
Perkampungan itu sengaja dibakar untuk dijadikan jalan alternatif sehingga kendaraan Belanda bisa melintas. Pasalnya jalan yang biasa dilintasi telah dirusak dengan cara ditimbun dengan pepohonan dan bahkan dibuatkan lubang-lubang sehingga tak bisa dilalui.
“Kalau kata kakek saya almarhum, saat peristiwa itu terjadi rakyat semua disana dikerahkan oleh tentara dalam aksi pengepungan tersebut. Dari ceritanya, lebih dari satu desa digerakkan.
Hingga cukup membuat pusing Belanda, yang kemudian setiap hari menembaki wilayah Salawu dengan pesawat. Namun katanya rakyat diajari cara-cara menghindar dari tembakan pesawat oleh tentara, bagaimana caranya sembunyi dan berkamuflase,” tutur Wiwin (35), cucu almarhum Suhandi yang merupakan salah seorang pejuang pada peristiwa tersebut.
Namun ternyata, berdasarkan informasi yang dihimpun. Aksi heroik itu hanya dipimpin oleh lima orang tentara dari Divisi Siliwangi yang dikomandoi Lukito, yang merupakan anak buah dari SL Tobing.
Sehingga aksi tersebut nyata sebagai salah satu bentuk kemanunggalan antara TNI bersama rakyat pada masa itu.
Diharapkan, prasasti itu bukan hanya sebagai pengingat saja. Namun kisah heroik itu bisa terus diceritakan kepada anak-anak dan generasi berikutnya, sehingga jasa-jasa perjuangan orangtuanya dulu dijadikan penyemangat dalam tetap menumbuhkan kecintaan terhadap negaranya.
Tidak seperti prasasti itu, yang kini kondisinya tidak terawat. Lusuh dan nyaris sudah tidak terbaca serta luput dari perhatian.
Editor : Asep Juhariyono