Pencoblosan PSU Kabupaten Tasikmalaya di Bawah Bayang-Bayang Politik Uang dan ASN Tidak Netral

Selain praktik money politics, Ia menyebut, penyakit laten demokrasi lainnya ialah ketidaknetraan Aparatur Sipil Negara (ASN) terjadi pada PSU Kabupaten Tasikmalaya.
"Praktik tidak netralnya ASN menambah daftar hitam dalam pelaksanaan PSU. ASN yang seharusnya berdiri di atas semua kepentingan politik dan menjadi pelayan publik yang profesional, justru terlibat dalam memenangkan salah satu pasangan calon," terang dia.
Dari camat, kepala desa, hingga pejabat struktural, dijelaskan Ahmad, kondisi ini menunjukkan lemahnya political will pemerintah daerah dan lemahnya sistem kontrol birokrasi.
Masih kata Ahmad, ASN yang seharusnya menjadi garda netral dan profesional, justru terjebak dalam logika loyalitas kekuasaan. Mereka dipaksa memilih berpihak pada atasan politik, atau kehilangan jabatan dan keamanan karier.
"Ketika praktik money politics bertemu dengan birokrasi yang tidak netral, maka yang terjadi adalah kehancuran tatanan demokrasi lokal. Pemilu bukan lagi ajang kompetisi gagasan, tetapi kontes kekuatan logistik dan jaringan kekuasaan. Yang menang bukan yang terbaik, tetapi yang paling banyak membeli dan paling kuat memobilisasi aparatur," ungkapnya.
Ia mengungkapkan, PSU seharusnya menjadi ruang untuk memperbaiki proses yang cacat, bukan diulang dengan pola yang sama. Namun sayangnya, dalam realitas di Tasikmalaya, PSU hanya menjadi perpanjangan dari kekacauan politik sebelumnya dengan aroma uang dan tekanan struktural yang makin menyengat.
PSU di Kabupaten Tasikmalaya bukan hanya ujian bagi peserta pemilu, tetapi juga cerminan sejauh mana demokrasi lokal bisa berdiri di atas etika dan integritas.
"Selama money politics dan ketidaknetralan ASN masih dibiarkan, maka demokrasi hanyalah ilusi. Yang dibutuhkan bukan sekadar proses ulang, tetapi perombakan menyeluruh terhadap mentalitas politik dari yang transaksional menjadi substansial," tandasnya.
Editor : Asep Juhariyono