Parahnya, anak yang dikandung korban juga akan trauma dan menanggung beban psikologis kelak saat dilahirkan.
"Sehingga kata apa yg paling tepat disematkan pada perilaku orang tersebut itu jika bukan sadis," ujar Mei lagi.
Mei melanjutkan, jangan sampai nanti ada yang berpikir ini pembunuhan karakter guru agama.
"Jika pegiat-pegiat HAM ikut bersuara dengan dalih membela HAM karena pelaku harus diberikan kesempatan dan memiliki hak yang sama, maka tolong pakai hati kita untuk melihat dengan jernih betapa naasnya masa depan santriwati-santriwati tersebut, yang bisa jadi saat ini mereka hidup tapi terasa mati. Sudah waktunya pemerintah menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seperti ini," kata Mei.
Dia pun mengatakan bahwa hanya hukuman mati yang paling tepat buat pelaku, sebab jika melihat karakteristik pelaku, ingat yang disampaikan oleh Harpur & Hare pada tahun 1994 bahwa sifat egosentris, manipulatif, tidak memiliki empati, tidak memiliki rasa bersalah dan tidak menyesal, serta tidak punya perasaan pada orang lain.
Menurutnya sifat-sifat ini relatif stabil bahkan dengan bertambahnya usia, sehingga jika pelaku ini dipenjara hanya 20 tahun dan dia bebas sekitar usia 50-an, maka kemungkinan dia melakukan kembali perbuatannya masih sangat besar.
"Mungkin ada yang berpikir seseorang bisa saja bertaubat dan setiap orang bisa berubah, namun jika kemungkinan itu kecil, maka enggak perlu 'gamble' untuk itu. Aku tahu bahwa hukuman mati tidak akan dapat menghapus derita santriwati-santriwati itu, tapi minimal ini bisa menjadi pelajaran bagi orang lain di luar sana sehingga tidak ada lagi kasus seperti ini," katanya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait