Lebih lanjut, Engkus menyampaikan harapannya agar tradisi Nyangku dapat terus berlangsung di masa mendatang dan semakin memperkuat rasa bangga masyarakat terhadap budaya lokal. “Kami sangat mengapresiasi semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan acara ini. Semoga warisan budaya ini tetap terjaga dan diteruskan kepada generasi mendatang,” ujarnya.
Sementara itu, Rd. Agus Gunawan Cakradinata, atau yang akrab disapa Kang Awuh, selaku Pemangku Adat, menjelaskan bahwa tradisi Nyangku sudah berlangsung selama berabad-abad dan memiliki akar yang sangat kuat dalam sejarah Panjalu.
Kata Nyangku berasal dari bahasa Arab yang berarti membersihkan, dan dalam konteks ini, tradisi tersebut bertujuan untuk membersihkan benda-benda pusaka bersejarah, termasuk pedang peninggalan Sayidina Ali.
“Menurut sejarah, Prabu Boros Ngora menerima pedang ini saat beliau menimba ilmu agama Islam di Mekkah. Selain pedang, ada juga kain ihram, kain sorban, dan seperangkat pakaian yang menjadi warisan penting dari Sayidina Ali,” jelas Kang Awuh.
Puncak upacara Nyangku ditandai dengan ritual pencucian pedang peninggalan tersebut, bersama dengan benda pusaka lainnya seperti Stok Komando, Pedang Emas, Keris Emas, dan keris Niscala Wastu Kencana, simbol kejayaan Kerajaan Pajajaran. Ritual pencucian dilakukan tepat sebelum waktu Dzuhur, sesuai dengan ketentuan adat.
“Selain pencucian pada hari puncak, masih ada rangkaian kegiatan yang berlanjut, termasuk pencucian pusaka lainnya yang akan dilakukan pada hari Selasa,” tambahnya.
Tradisi Nyangku juga diawali dengan prosesi arak-arakan pusaka dari Bumi Alit, disusul dengan ziarah di tengah Danau Situ Panjalu, sebelum akhirnya dibawa ke Lapangan Borosngora untuk dijamas (dicuci).
Selama tiga bulan sebelumnya, persiapan upacara sudah dilakukan, termasuk pengumpulan air suci dari 52 mata air karomah, di mana 11 di antaranya berasal dari Gunung Salak yang diyakini memiliki kekuatan spiritual.
Nyangku bukan sekadar ritual, tetapi juga bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah memberikan warisan budaya dan spiritual yang begitu berharga bagi kita semua.
Melalui tradisi ini, kita diajak untuk selalu bersyukur dan merawat peninggalan yang ada sebagai wujud terima kasih atas jasa-jasa para pendahulu,” pungkas Kang Awuh.
Editor : Asep Juhariyono