CIAMIS, iNewsTasikmalaya.id – Tatar Galuh Ciamis memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, baik berupa Warisan Budaya Benda (WBB) maupun Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Pernyataan ini disampaikan oleh Pj Bupati Ciamis, Engkus Sutisna, saat menghadiri acara adat Nyangku di Lapangan Borosngora, Desa Panjalu, pada Senin (30/09/2024).
Tradisi Nyangku merupakan prosesi penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora, para raja Panjalu, hingga bupati yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit, Desa Panjalu.
Upacara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun dan menjadi salah satu warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai sejarah dan religius.
“Kegiatan ini menjadi cerminan dari warisan budaya kita yang memiliki nilai historis tinggi. Warisan ini harus dilestarikan dan dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan, baik dari segi fisik maupun pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM),” ujar Engkus.
Ia menambahkan bahwa upaya pemajuan kebudayaan ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Engkus menekankan bahwa tradisi Nyangku bukan hanya sekadar acara adat, tetapi juga simbol kekuatan identitas budaya yang dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan kreativitas seni tradisional maupun kontemporer.
“Nyangku adalah bukti nyata dari kearifan lokal yang kita miliki di Kabupaten Ciamis. Upacara ini memiliki nilai filosofis yang mendalam dan menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Tatar Galuh,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Engkus menyampaikan harapannya agar tradisi Nyangku dapat terus berlangsung di masa mendatang dan semakin memperkuat rasa bangga masyarakat terhadap budaya lokal. “Kami sangat mengapresiasi semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan acara ini. Semoga warisan budaya ini tetap terjaga dan diteruskan kepada generasi mendatang,” ujarnya.
Sementara itu, Rd. Agus Gunawan Cakradinata, atau yang akrab disapa Kang Awuh, selaku Pemangku Adat, menjelaskan bahwa tradisi Nyangku sudah berlangsung selama berabad-abad dan memiliki akar yang sangat kuat dalam sejarah Panjalu.
Kata Nyangku berasal dari bahasa Arab yang berarti membersihkan, dan dalam konteks ini, tradisi tersebut bertujuan untuk membersihkan benda-benda pusaka bersejarah, termasuk pedang peninggalan Sayidina Ali.
“Menurut sejarah, Prabu Boros Ngora menerima pedang ini saat beliau menimba ilmu agama Islam di Mekkah. Selain pedang, ada juga kain ihram, kain sorban, dan seperangkat pakaian yang menjadi warisan penting dari Sayidina Ali,” jelas Kang Awuh.
Puncak upacara Nyangku ditandai dengan ritual pencucian pedang peninggalan tersebut, bersama dengan benda pusaka lainnya seperti Stok Komando, Pedang Emas, Keris Emas, dan keris Niscala Wastu Kencana, simbol kejayaan Kerajaan Pajajaran. Ritual pencucian dilakukan tepat sebelum waktu Dzuhur, sesuai dengan ketentuan adat.
“Selain pencucian pada hari puncak, masih ada rangkaian kegiatan yang berlanjut, termasuk pencucian pusaka lainnya yang akan dilakukan pada hari Selasa,” tambahnya.
Tradisi Nyangku juga diawali dengan prosesi arak-arakan pusaka dari Bumi Alit, disusul dengan ziarah di tengah Danau Situ Panjalu, sebelum akhirnya dibawa ke Lapangan Borosngora untuk dijamas (dicuci).
Selama tiga bulan sebelumnya, persiapan upacara sudah dilakukan, termasuk pengumpulan air suci dari 52 mata air karomah, di mana 11 di antaranya berasal dari Gunung Salak yang diyakini memiliki kekuatan spiritual.
Nyangku bukan sekadar ritual, tetapi juga bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah memberikan warisan budaya dan spiritual yang begitu berharga bagi kita semua.
Melalui tradisi ini, kita diajak untuk selalu bersyukur dan merawat peninggalan yang ada sebagai wujud terima kasih atas jasa-jasa para pendahulu,” pungkas Kang Awuh.
Editor : Asep Juhariyono