Pada saat itu, Dokter Tirta mengira perjuangannya telah berakhir setelah menjadi dokter umum. Ia berpikir, setelah itu ia akan bertugas di puskesmas, mendapatkan SIP, dan menerima gaji sekitar Rp30-40 juta. Namun kenyataannya berbeda.
“Ketika itu sudah sangat kacau dengan antrean BPJS yang panjang. Aku pikir setelah jadi dokter umum, kita dinas di puskesmas, ambil 3 SIP, atau dokter-dokter kita sudah bisa mendapatkan gaji Rp30-40 juta. Ternyata tidak,” ujarnya.
Dokter Tirta malah hanya menerima upah shift jaga sekitar Rp100-150 ribu per hari. Dari situ, ia merasa bahwa profesi dokter sering kali tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan usaha mereka.
“Upah duduk saat itu masih Rp100-150 ribu sehari. Upah duduk itu adalah saat kita jaga tanpa banyak aktivitas, dan hanya mendapatkan segitu,” katanya.
Namun, di sisi lain, masyarakat sering menganggap profesi dokter adalah bentuk pengabdian yang harus dilakukan dengan ikhlas. “Ketika kita mengeluh tentang uang, masyarakat bilang, kan ini pengabdian. Tapi aku juga butuh uang untuk makan,” keluhnya.
Anggapan masyarakat yang salah mengenai profesi dokter membuatnya merasa miris dan kesal. Dokter Tirta merasa bahwa dokter juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Kita juga merupakan profesi, tetapi ketika kita mengeluh tentang uang, selalu ada pembelaan, ya kamu kan pengabdian, kalau tidak siap kenapa jadi dokter?” ungkapnya.
Dokter Tirta menyimpulkan bahwa profesi guru dan dokter di Indonesia sering dianggap harus dibayar murah. Padahal, menurutnya, harga layanan kesehatan ditentukan oleh kebijakan rumah sakit, bukan oleh dokter itu sendiri.
“Bagi mereka, guru dan dokter harus dibayar murah. Yang menentukan mahal atau tidaknya adalah rumah sakit. Aku tidak peduli di situ,” tutupnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta