Menurut Asep, dalam kondisi sekarang yang serba maju, gagasan ini perlu dikaji manfaat dan mudaratnya, serta bentuk teknisnya di lapangan jika diterapkan.
"Sifatnya mungkin hanya berupa imbauan, bukan diwajibkan dan bukan sebagai mahar," ungkap Asep.
Keharusan membawa kitri bagi calon pengantin bukan suatu kewajiban, apalagi sampai menjadi mahar seperti seperangkat alat salat.
"Gagasannya memang bagus untuk memulihkan kembali populasi pohon kelapa di Ciamis. Ciamis dulu tidak hanya terkenal dengan kelapanya, tetapi juga sohor dengan galendonya," imbuhnya.
Sebagai upaya untuk mengatasi semakin terancamnya populasi pohon kelapa di Ciamis, kini muncul gagasan untuk menghidupkan kembali tradisi membawa dan menanam kitri bagi calon pengantin yang akan menikah, baik di KUA, di rumah, di masjid, atau di gedung.
Dalam sejarah kejayaan Ciamis sebagai sentra kelapa, Bupati ke-16 Kabupaten Galuh, RAA Kusumadiningrat, menolak tanam paksa (kultur stelsel) dari penjajah Belanda yang hanya menguntungkan penjajah.
Sebagai gantinya, ia melancarkan program penanaman kelapa secara massal untuk menguntungkan rakyat. Setiap warga Tatar Galuh yang akan menikah harus membawa dan menanam kitri.
Gerakan massal menanam kelapa ini membuat setiap kebun dan halaman rumah di Ciamis tumbuh subur dengan pohon kelapa. Untuk menampung hasilnya, dibangunlah dua pabrik minyak kelapa yang terkenal di Ciamis, yaitu pabrik minyak Guan Hien dan pabrik minyak Olvado.
Tradisi ngeletik, yaitu membuat minyak kelapa, juga populer di masyarakat, melibatkan hampir semua rumah tangga sebagai bentuk ketahanan pangan.
Tradisi ini menghasilkan minyak kelapa dan galendo, cemilan khas Ciamis yang masih eksis sebagai kuliner khas lintas generasi hingga sekarang.
Editor : Asep Juhariyono