Mendirikan Pondok Pesantren dan Perjuangan Melawan Penjajahan
Pada tahun 1933, KH Zainal Mustafa bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU), dan cabang NU di Tasikmalaya mengangkatnya sebagai Wakil Ro'is Syuriah. Di masa tersebut, situasi politik menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh KH Zainal Mustafa saat ia berusaha membangun sekolah swasta Islam.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, menyebarkan agama Islam melalui pesantren sangat sulit dilakukan. Namun, pada tahun 1927, KH Zainal Mustafa berhasil mendirikan pesantren Sukamanah dan mengembangkannya.
Dari tahun 1927 hingga 1944, KH Zainal Mustafa dikenal sebagai kiai muda pemberontak yang berani melawan kolonialisme. Ia bahkan mengadakan pertemuan rahasia untuk melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sikap tegasnya ini membuatnya menjadi target otoritas kolonial. Pada tanggal 17 November 1941, bersama beberapa pendakwah lainnya, Zainal Mustafa ditangkap oleh penguasa kolonial dengan tuduhan berusaha mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Perlawanan Terhadap Jepang dan Pengorbanan
Pada Maret 1942, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Belanda menyerahkan daerah jajahannya kepada Jepang. Meskipun Jepang mengira KH Zainal Mustafa akan mendukung mereka, ternyata beliau malah menentang mereka dengan bergabung dalam Gerakan Anti Fasis (Geraf).
Terutama ketika kebijakan "tunduk pada matahari terbit" (Seikerei) diberlakukan oleh Jepang, KH Zainal Mustafa bersama murid-muridnya menolak mematuhi perintah tersebut.
Pada 25 Februari 1944, tentara Jepang memanggil KH Zainal Mustafa, yang akhirnya memicu pertempuran sengit di Sukamanah. Meskipun Jepang akhirnya memenangkan pertarungan tersebut, banyak nyawa yang melayang.
Setelah insiden ini, KH Zainal Mustafa dan 23 orang lainnya ditangkap dan diadili di Jakarta. Di Tasikmalaya, sekitar 79 orang yang terlibat dalam peristiwa Singaparna dijatuhi hukuman penjara selama 5 hingga 7 tahun.
Editor : Asep Juhariyono