Negara ini mengalami perubahan di bawah putra mahkota dan penguasa de facto, Mohammed bin Salman (MBS), yang berkuasa sejak 2017.
Tetapi Putra Mahkota MBS juga telah meluncurkan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, menahan aktivis hak-hak perempuan, ulama dan jurnalis. Sebuah laporan intelijen Amerika Serikat menuduhnya menyetujui pembunuhan brutal tahun 2018 terhadap jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul.
Reformasi sosial kerajaan di kawasan Teluk itu didorong oleh keinginan untuk mendiversifikasi ekonominya yang bergantung pada minyak, termasuk dengan merangsang pariwisata dan pengeluaran domestik.
Hanya pelancong bisnis dan peziarah Muslim yang dapat berkunjung hingga 2019, ketika Arab Saudi mulai menawarkan visa turis.
Bilal Saudi, Kepala Acara King Abdullah Economic City, mengatakan pantai itu menargetkan “pengunjung lokal dan turis asing”.
“Saya merasa bahwa saya tidak lagi harus bepergian ke luar negeri untuk bersenang-senang...karena semuanya ada di sini,” kata Dima, seorang pengusaha muda Saudi, sambil bergoyang mengikuti musik.
Staf di pantai mengatakan mereka tidak tahu apakah pasangan yang berkunjung sudah menikah atau belum. Baru dua tahun yang lalu pasangan asing yang belum menikah diizinkan untuk berbagi kamar hotel.
Demi “privasi”, seperti yang dikatakan staf, ponsel disita dan disimpan dalam kantong plastik.
“Saya terkejut dengan kebebasan dan keterbukaan di pantai, sesuatu yang akan dialami di Amerika Serikat,” kata pengunjung pantai, Mohammed Saleh.
Satu hal yang masih kurang, kata pengunjung, adalah koktail, dengan larangan alkohol secara nasional masih berlaku.
“Hidup itu normal [di Arab Saudi],” kata Asma, yang menambahkan: “Sebelumnya tidak normal.”
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta