Selain teknologi, faktor sosial, budaya, ekonomi, dan pengaruh orang tua juga turut mendorong terjadinya pernikahan dini.
Ia menjelaskan bahwa kemiskinan sering memaksa anak-anak untuk putus sekolah demi membantu ekonomi keluarga, yang kemudian berujung pada pernikahan dini.
Iis mengimbau peran keluarga untuk memberikan bimbingan yang baik agar anak-anak bisa tumbuh sesuai dengan usia mereka, sehingga menjadi generasi Emas Indonesia pada 2045.
Iis juga membagikan 9 nilai anti-korupsi yang bisa dijadikan pedoman, yaitu Jumat Bersepeda KK, di antaranya Jujur, Mandiri, Tanggung Jawab, Berani, Sederhana, Peduli, Disiplin, Adil, dan Kerja Keras.
Sementara itu, Kepala DP2KBP3A Ciamis, Dian Budiana, menyampaikan bahwa pernikahan anak membawa risiko kesehatan bagi ibu dan bayi karena anak belum memasuki masa reproduksi yang ideal.
“Pernikahan anak berisiko, karena anak-anak belum siap secara reproduksi sehingga berpotensi pada kehamilan yang tidak optimal,” ujar Dian.
Ia merekomendasikan usia ideal pernikahan pada 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria untuk mengurangi risiko stunting.
Dian juga menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga untuk mengatasi pernikahan dini.
“Kami terus melibatkan instansi terkait dan telah bekerja sama dengan pesantren dalam upaya pencegahan ini. Harapannya, kolaborasi bisa terus diperluas,” jelasnya.
Acara sosialisasi ini dihadiri sekitar 150 peserta, yang merupakan perwakilan dari berbagai organisasi wanita di Kabupaten Ciamis.
Melalui sosialisasi ini, diharapkan kesadaran masyarakat akan bahaya pernikahan anak semakin meningkat, khususnya di wilayah Tatar Galuh Ciamis.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait