MUI Kota Banjar juga menyoroti Pasal 102 yang membahas penghapusan sunat bagi perempuan. Supriyana menyatakan bahwa masalah ini masih menjadi perdebatan (kilafiyah) di kalangan masyarakat dan berpotensi memicu perbedaan pendapat yang signifikan.
"Persoalan sunat perempuan ini sensitif dan menimbulkan berbagai pandangan di masyarakat. Kami berkomitmen untuk terus memantau dan mengawasi implementasi kebijakan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman," lanjut Supriyana.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjar, Saefuddin, menegaskan bahwa alat kontrasepsi yang disebutkan dalam PP sebenarnya hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah. Tujuannya adalah menunda kehamilan agar calon ibu lebih siap secara fisik maupun ekonomi.
"Penyediaan alat kontrasepsi tidak untuk semua remaja, tetapi hanya untuk mereka yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan sampai waktu yang tepat," jelas Saefuddin.
Ia menambahkan, bahwa pernikahan dini meningkatkan risiko kesehatan ibu dan anak, termasuk risiko stunting. Oleh karena itu, penyediaan alat kontrasepsi difokuskan pada pasangan usia subur yang berada dalam kelompok berisiko tinggi.
Saefuddin juga mengimbau masyarakat agar tidak salah memahami PP ini. Aturan tersebut akan diperjelas dalam Permenkes yang akan diterbitkan, dengan penekanan pada edukasi keluarga berencana yang disesuaikan dengan usia dan tahapan perkembangan anak.
"Kami sudah berdiskusi dengan MUI Kota Banjar, dan mereka menyarankan penjelasan lebih lanjut di Permenkes agar tidak menimbulkan perdebatan. Rekomendasi ini akan kami sampaikan kepada Kementerian Kesehatan sebagai bahan pertimbangan untuk aturan yang lebih jelas," tutupnya.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait