Kasus Korupsi DPRD Kota Banjar Disorot, Presiden dan Jaksa Agung Tegaskan Integritas Hukum di Daerah
BANJAR, iNewsTasikmalaya.id — Sorotan tajam terhadap kinerja aparat kejaksaan di daerah kembali mengemuka setelah Presiden Prabowo Subianto dan Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan kritik keras terhadap lemahnya penegakan hukum di tingkat lokal.
Isu ini mencuat bersamaan dengan berjalannya sidang dugaan korupsi tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Kota Banjar, yang kini menjadi perhatian publik.
Dalam arahannya di Jakarta, Presiden Prabowo menegaskan bahwa hukum seharusnya dijalankan dengan hati nurani, bukan dengan kepentingan. Ia meminta aparat penegak hukum untuk tidak mencari-cari kesalahan masyarakat kecil.
“Jangan cari perkara terhadap orang kecil. Hidup mereka sudah berat, jangan diperberat lagi dengan mencari-cari hal yang tidak perlu,” tegas Presiden Prabowo, Senin (20/10/2025).
Pernyataan itu dianggap relevan di tengah maraknya kritik terhadap jaksa di berbagai daerah yang dinilai lamban atau bahkan abai dalam mengusut kasus korupsi.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin juga mengeluarkan peringatan keras kepada jajarannya. Ia menyebut bahwa kejaksaan di daerah harus mampu membongkar praktik korupsi, terutama yang jelas-jelas merugikan keuangan negara.
“Kalau kejaksaan di daerah tidak bisa ungkap kasus korupsi, ya berarti tidak kompeten,” ujar Burhanuddin pada Jumat (17/10/2025).
Ia bahkan menegaskan, jaksa yang gagal menunjukkan kinerja akan dikenai sanksi, termasuk mutasi jabatan.
Kasus DPRD Banjar: Ujian Nyata Penegakan Hukum Daerah
Kritik tersebut kian relevan dengan kasus yang kini menjerat dua pejabat penting di Kota Banjar, mantan Ketua DPRD Banjar, Dadang R. Kalayubi, dan Sekretaris Dewan, Rachmawati. Keduanya didakwa terlibat dalam penyimpangan pembayaran tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Banjar.
Sidang yang digelar pada 15 Oktober 2025 menghadirkan saksi ahli hukum pidana Dr. Somawijaya, S.H., M.H., yang menyoroti pendekatan hukum yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia menilai penerapan asas fiksi hukum yang menganggap pejabat negara dianggap tahu semua peraturan tidak serta-merta membuktikan adanya niat jahat (mens rea).
“Tanpa unsur niat jahat atau kelalaian yang disengaja, perbuatan tersebut tidak bisa langsung dianggap melawan hukum,” jelas Somawijaya di persidangan.
Dalam kesaksiannya, Somawijaya juga menilai bahwa Sekwan Rachmawati hanya menjalankan kebijakan yang sah sesuai peraturan. Menurutnya, ketika suatu keputusan administratif dilaksanakan sesuai dasar hukum yang berlaku, maka tanggung jawab pidana tidak serta-merta melekat.
“Jika kerugian negara timbul akibat kesalahan administratif, penyelesaiannya harus melalui mekanisme administratif terlebih dahulu, bukan langsung dibawa ke ranah pidana,” tegasnya.
Pendapat ahli ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi, terutama dalam konteks kebijakan yang melibatkan pejabat publik.
Kasus korupsi tunjangan DPRD Banjar ini telah berjalan sejak Juli 2025 dan menghadirkan lebih dari 15 saksi dari pihak JPU. Dari kubu terdakwa, masing-masing menghadirkan satu saksi ahli. Meski telah ditahan di Rutan Sukamiskin sejak April 2025, proses hukum terhadap keduanya belum menemui titik akhir.
Sidang lanjutan dijadwalkan akan menghadirkan langsung kedua terdakwa untuk memberikan keterangan di depan majelis hakim.
Kasus ini pun menjadi tolak ukur konsistensi kejaksaan daerah dalam menegakkan hukum secara adil dan berintegritas, sesuai dengan arahan langsung Presiden dan Jaksa Agung.
Apakah Kejaksaan Negeri Kota Banjar mampu membuktikan profesionalismenya di tengah sorotan publik, atau justru akan menjadi contoh lemahnya sistem penegakan hukum di daerah semua kini bergantung pada hasil akhir dari proses peradilan yang tengah berjalan.
Editor : Asep Juhariyono