Padahal, lanjut dia, secara empiris membuktikan, upah tinggi bagi pekerja atau buruh sama sekali tidak memicu kenaikan pengangguran.
Kenaikan upah minimum tidak berkorelasi dengan menurunnya kesempatan kerja, sebaliknya kenaikan upah yang layak akan jadi stimulus bagi pekerja dan menguntungkan ekonomi secara luas.
Irwan menjelaskan, misalnya saja di Kota Banjar yang bertahun-tahun menyandang gelar daerah dengan upah terendah di Jawa Barat tidak serta merta meningkatkan investasi dan terbukanya kesempatan kerja di Kota Banjar.
Artinya, seharusnya banyak investor tertarik berinvestasi dan membuka usaha di Kota Banjar mengingat upah pekerja dan buruh yang perlu dibayarkan sangat murah
"Namun faktanya tidak demikian, kesempatan kerja dan lapangan kerja di Kota Banjar masih saja sulit didapatkan," jelas Irwan.
Dengan menaikkan UMP atau UMK alih-alih pengangguran naik seperti yang ditakutkan pengusaha dan pemerintah, justru ini akan menjadi stimulus.
Jika pendapatan masyarakat (pekerja dan buruh) naik, uang yang akan dibelanjakan dan menjadi perputaran ekonomi yang semakin besar.
Simbiosis mutualisme akan terbangun dan pengusaha akan diuntungkan atas peningkatan gairah belanja dan daya beli masyarakat.
"Secara otomatis juga dapat mendongkrak omzet penjualan pengusaha akan naik," terangnya.
Terkait perdebatan formula penetapan kenaikan upah, di mana pada petenapan upah 2023 muncul polemik dari diterbitkannya pada PP 36 tahun 2021.
Peraturan ini merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Kemudian hal itu menjadi tumpang tindih dalam landasan hukum penetapan upah minimum 2023 pasca pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 penetapan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Berkaitan dengan revisi PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunan dari UU tersebut nyatanya belum kunjung tuntas.
"Padahal, keberadaannya menjadi landasan hukum penghitungan upah minimum tahun 2024," jelasnya.
Tambah dia, hal tersebut jelas menunjukan formula perhitungan yang akan dihasilkan besar kemungkinan berpihak pada pekerja atau buruh. Ancaman upah rendah dengan kenaikan yang kecil masih terus menghantui para pekerja.
Sehingga pihaknya meminta agar segera menuntaskan revisi PP 36 tahun 2021 dan lakukan kenaikan upah di atas pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta berdasarkan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja.
“Kenaikan 15 persen adalah ideal, dengan mempertimbangkan data inflasi dan pertumbuhan terakhir," ujarnya.
Soroti kenaikan gaji PNS, TNI-Polri dan pensiunan
Irwan juga menyoroti kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI-Polri sebesar 8 persen dan pensiunan sebesar 12 persen.
Kendati para pekerja dan buruh tidak mempersoalkan dengan kenaikan ini, tapi dirinya tidak setuju apabila kenaikan itu jika buruh sebagai pembayar pajak diupah lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang dibayar oleh pajak.
"Jadi saya sebutkan kembali kenaikan upah buruh 15 persen itu tepat, karena harus lebih tinggi dari PNS," pungkasnya.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait