Jika yang dimaksud adalah keberpihakan kepala desa dalam memilih, tentu tidak masalah. Namun, pernyataan ini bisa disalahartikan sebagai restu atau jalan untuk cawe-cawe dengan keterlibatan kepala desa atau unsur pemerintahan lainnya.
"Dengan penganggapan yang salah, hal ini dapat mempengaruhi pilihan masyarakat hingga pelaksanaan pemenangan dan kampanye," katanya.
Kresty menegaskan, bahwa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah harus bebas dari intervensi kekuasaan mana pun.
Oleh karena itu, kepala desa dan pejabat lainnya tidak boleh cawe-cawe saat masa kampanye Pemilu 2024 berlangsung.
"Aturannya tegas, sanksi bagi pelanggaran kampanye telah disebutkan dengan jelas dalam UU No 7 tahun 2017," kata Kresty.
Pasal 490 menyebutkan bahwa setiap kepala desa yang sengaja membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye, dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000.
Pasal 547 UU 7/2017 menyatakan bahwa setiap pejabat negara yang melakukan hal serupa dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000.
"Kami meminta Penjabat Wali Kota mengklarifikasi dan mencabut pernyataan tersebut, serta mendukung penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu, untuk awas dan bertindak tegas terhadap potensi-potensi pelanggaran," ujarnya.
"Kami juga mengajak masyarakat untuk turut mengawasi keberlangsungan Pilkada di Kota Banjar agar dihasilkan pemimpin daerah yang sesuai dengan harapan masyarakat," pungkasnya.
Sebelumnya, Penjabat Wali Kota Banjar, Ida Hidayati, memberikan pernyataan bahwa kepala desa di daerahnya boleh mendukung salah satu pasangan calon di Pilkada 2024.
Editor : Asep Juhariyono