Bordir Tasikmalaya: Keindahan Karya Seni Sulaman yang Menawan

TASIKMALAYA, iNewsTasikmalaya.id – Bordir Tasikmalaya adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang mempesona. Bordir Tasikmalaya merujuk kepada seni tradisional bordir yang berasal dari Tasikmalaya, sebuah kota di Jawa Barat, Indonesia.

Bordir Tasikmalaya terkenal karena keindahan dan kerumitan desainnya. Pengrajin bordir di Tasikmalaya memiliki keahlian khusus dalam menciptakan motif-motif tradisional yang menggambarkan kekayaan budaya Indonesia.

Baca Juga

VIDEO: Bordir Tasikmalaya Masuk Program Kolaborasi Qatar - Indonesia 2023 Years of Culture

Bordir Tasikmalaya sering kali digunakan untuk mempercantik berbagai produk tekstil seperti pakaian, selendang, taplak meja, dan bahkan dekorasi dinding.

Motif-motif bordir ini sering kali terinspirasi oleh alam sekitar, fauna, flora, serta motif-motif tradisional Indonesia lainnya. Keindahan dan kerumitan bordir Tasikmalaya membuatnya diminati sebagai produk suvenir dan oleh para kolektor seni tekstil

Dalam tradisi seni tekstil, khususnya sulaman, Tasikmalaya telah memperlihatkan keahlian dan keindahan yang unik.

Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang keberagaman, sejarah, dan pesona bordir Tasikmalaya, mengikuti jejaknya dari masa lalu hingga saat ini.

Sejarah Bordir Tasikmalaya

Baca Juga

Bordir Tasikmalaya Masuk Program Kolaborasi Qatar - Indonesia 2023 Years of Culture

Bordir Tasikmalaya bukan sekadar seni sulaman biasa. Bordir Tasikmalaya adalah perwujudan warisan budaya yang kaya dan bersejarah.

Menggunakan benang-benang berkualitas tinggi dan teknik sulaman yang rumit, para pengrajin Tasikmalaya telah mempertahankan keahlian ini dari generasi ke generasi.

Bordir Tasikmalaya memiliki akar dalam tradisi lokal. Dari pola hingga warna, setiap detail merangkum cerita dari kehidupan sehari-hari, alam sekitar, dan mitos lokal.

Motif-motifnya sering kali menggambarkan alam tropis Indonesia, seperti bunga-bunga eksotis, burung-burung yang berwarna-warni, dan binatang-binatang endemik.

Editor : Asep Juhariyono