TASIKMALAYA, iNews,id – Seperti halnya bangunan masjid agung di daerah lain yang dibangun pada masa Kerajaan Islam, sudah dipastikan dibagian depannya terdapat sebuah lapangan yang dijadikan alun-alun sebagai fasilitas perkantoran atau Pendopo, hingga fasilitas penunjang lainnya.
Begitupun Masjid Agung Manonjaya yang dibangun pada masa Bupati Wiradadaha VIII pada tahun 1837 bersamaan dengan perpindahannya Ibu Kota dari Sukaraja yang dulu bernama Pasir Panjang ke Harjawinangun yang kini dikenal dengan Manonjaya.
Kendati waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WIB atau sekitar 30 menit lagi menjelang Adzan Subuh, tapi kawasan pusat Kota Kecamatan Manonjaya sudah terasa ramai sejak dimasuki dari wilayah perbatasan Kota Tasikmalaya.
Geliat pagi itu muncul setiap hari dari sebuah pasar yang juga ikut tumbuh seiring perpindahan pusat pemerintahan pada masa itu.
Lantunan ayat suci Alquran terdengar dari pengeras suara saat memasuki halaman masjid yang berdiri megah di areal lahan seluas 1.250 meter persegi.
Suasana subuh di Masjid Agung Manonjaya. (Foto: iNewsTasikmalaya.id/Nanang Kuswara).
Namun, di dalam masjid nampak masih sepi dan hanya terdapat 2 orang jamaah saja. Baru setelah mendekati kumandang adzan subuh satu persatu jamaah kemudian berdatangan dan terus bertambah banyak meski sebagian besar didominasi oleh para orangtua.
Selesai berjamaah shalat Subuh, para orangtua kemudian memilih duduk ke pinggir menempel tembok dan sebagian memilih bersandar pada 10 tiang kokoh di ruang utama masjid yang mengadopsi desain Eropa dengan arsitektur Sunda dan Jawa tersebut.
Sedangkan seorang remaja pengurus masjid kemudian melantunkan shalawat, sebagai tanda memanggil jemaah yang hendak mengikuti kuliah subuh yang kemudian sebagian memasuki masjid meskipun lebih banyak memilih duduk diteras masjid yang juga megah dengan adanya tiang-tiang kokoh penyangga.
Masjid Agung Manonjaya merupakan salah satu masjid tertua di Tasikmalaya dan memiliki keunikan tersendiri. Terdapat sedikitnya 60 tiang penyangga di dalamnya.
Terdapat 4 menara yang berada di kedua sisi masjid, di mana ruangan yang terdiri dari serambi depan yang menghadap alun-alun.
Kemudian ruang shalat perempuan atau pawestren yang berada di samping kiri, serta serambi belakang yang sebelumnya dipergunakan untuk kegiatan mengaji anak-anak di sana.
Masjid Agung Manonjaya juga telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya atau cultural heritage oleh Badan Arkeologi RI tertanggal 1 September 1975 tersebut.
“Keunikan lainnya dari masjid ini adalah adanya Mustaka atau Memolo yang dipercaya merupakan peninggalan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang disimpan di bagian atap tertinggi masjid,” ungkap Pengurus DKM Mesjid Agung Manonjaya Rusliana.
“Meskipun memolo ini merupakan kekhasan bangunan masjid di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa hindu, tetapi memang diadaptasi pada pembangunannya di masa itu,” sambung dia.
Masjid ini sempat ambruk akibat bencana, mulai gempa pada tahun 1977, meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982, hingga Gempa pada 2 September 2009 yang mengakibatkan bangunan masjid harus mendapatkan perbaikan.
Renovasi dilakukan, teta[otetap tidak meninggalkan bentuk aslinya yang terus dipertahankan hingga saat ini termasuk khasnya warna hijau dan putih yang mendominasi.
Editor : Asep Juhariyono