get app
inews
Aa Read Next : Gerindra dan Nasdem Kabupaten Tasikmalaya Koalisi untuk Pilkada 2024

Subuh di Pesantren Para Syuhada

Sabtu, 29 Januari 2022 | 15:08 WIB
header img
Ponpes Sukamanah KH Zainal Musthafa yang Berada di Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya. (Foto: iNewsTasikmalaya.id/Nanang Kuswara)

TASIKMALAYA, iNews.id - Sepanjang perjalanan menuju Kampung Bageur, Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, dari Jalan Utama Singaparna – Garut diselimuti kabut yang cukup tebal. 

Jalan kecil yang dilalui harus ditempuh dengan penuh hati-hati, mengingat jalanan juga berkelok-kelok ditambah hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada saat menemukan sebuah tikungan dimana terdapat gapura yang merupakan gerbang masuk Pondok Pesantren Sukamanah KH Zainal Musthafa, hingga memutuskan untuk berhenti sejenak dan melafalkan do’a karena nampak jelas dikejauhan sebuah lingkungan makam bercat putih. 

Hingga perasaan pun bergetar mengingat mereka yang dimakamkan disana merupakan para syuhada, pimpinan pesantren beserta santrinya yang syahid diujung senapan tentara Jepang pada masa silam.

Sayup-sayup terdengar lantunan suara orang mengaji dari pengeras suara yang jelas terdengar dari lingkungan pesantren, sebuah MTsN dan MAN serta SMA dan SMK berdiri megah dibagian depan pintu masuk pesantren. 

Hingga berjarak beberapa puluh meter barulah menemukan dua lantai bangunan yang dihuni santri laki-laki yang berdampingan dengan Mesjid, sedangkan didepannya bangunan kantor serta gedung yang dihuni santri perempuan.


Santri Ponpes Sukamanah KH Zainal Musthafa menggelar do’a bersama setelah berjamaah Shalat Shubuh di Mesjid lingkungan pesantren yang berada di Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya. (Foto: iNewsTasikmalaya.id/Ist)

Dewan Santri Pondok Pesantren Sukamanah KH Zainal Musthafa, Edi Bukhori menyambut kedatangan, berbincang sejenak lantas kemudian dirinya pamit hendak mempersiapkan diri untuk berjamaah Shalat Shubuh. 

Begitupun para santri di lingkungan pesantren tersebut, kemudian berdatangan seragam mengenakan pakaian serba putih dengan kain sarung lengkap dengan sajadah dipundaknya karena memang didalam masjid tidak menggunakan karpet. 

Begitupun santri perempuan yang masuk ke masjid melalui pintu sebelah kanan lantas naik ke lantai dua untuk menunaikan shalat disana.

Usai shalat semua santri kemudian dilanjutkan dengan berdzikir bersama, namun ada sedikitnya 5 orang santri berdiri kemudian melipat sajadahnya serta menepuk santri yang terlihat terkantuk-kantuk agar tetap konsentrasi terhadap bacaan dzikirnya. 

Momen itu terus berlanjut sampai imam shalat melanjutkan dengan memanjatkan do’a bersama, hingga kegiatan diakhiri dengan pengajian sampai sekitar pukul 06.00 WIB. 

“Pengajian seperti biasa dilaksanakan mulai pagi, siang, sore, hingga jam 22.00 WIB yang dilanjut istirahat hingga kemudian dibangunkan saat menjelang shubuh,” ungkap Edi. 
           
Ditanya apakah ada pengajaran atau menanamkan pemahaman kepada siswa berkenaan dengan jihad, terkait pendiri pesantren yakni KH Zainal Musthafa dan santri disana yang dikenal sebagai pahlawan nasional karena gugur melawan penjajah Jepang. 

Edi menyebutkan, sama sekali tidak ada. Karena gelar itu hanya sebagian kecil penghargaan dari pemerintah yang sebenarnya tidak diharapkan, sebab jihad dijalan Allah SWT yang sebenarnya merupakan kewajiban dari setiap umat Islam.

“Dan yang terpenting adalah melanjutkan cita-cita dan menghormati pengorbanannya, jangan lantas menjadi tinggi hati dan lain sebagainya,” jelasnya.


Shubuh di Pesantren Para Syuhada. (Foto: iNewsTasikmalaya.id/Nanang Kuswara)

Seperti diketahui, KH Zainal Musthafa yang memiliki nama kecil Umri ini lahir dari pasangan Ratmah dan Nawapi pada tahun 1901 silam di Kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, (kini Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame). 
Beliau memang sudah memperlihatkan watak keberaniannya dalam menentang segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan. 

Dalam bimbingan sepupunya KH Zainal Muhsin di Ponpes Sukahideng semangat ruhul jihad tumbuh begitu kuat hingga dalam berbagai majelis taklim yang dihadirinya selalu berceramah tentang penentangan terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan.

Tahun 1927, Umri mendirikan Pesantren Sukamanah yang tak jauh dari Pesantren Sukahideng hingga pada tahun 1928 menunaikan ibadah haji dan berganti nama menjadi KH Zainal Musthafa. 

Pada tahun 1933 kemudian menjadi Wakil Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya bersama sahabatnya KH Ruhiat Pimpinan Ponpes Cipasung dan terus menanamkan penentangan dan kebencian terhadap berbagai bentuk penjajahan disetiap ceramah serta kepada sekitar 700 santrinya.

Karena tindakannya tersebut kemudian sekitar tanggal 17 November 1941 KH Zainal Musthafa, KH Ruhiat, H Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dan dipenjara di Tasikmalaya yang kemudian dipindahkan ke Sukamiskin Bandung. 

KH Zainal Musthafa sempat dibebaskan, tetapi karena terus berceramah mengenai penentangannya yang kemudian ditangkap lagi sekitar 1942 bersama sahabatnya KH Ruhiat dan dipenjara di Ciamis. Namun kemudian dibebaskan oleh tentara Jepang yang mampu mengalahkan Belanda waktu itu.

Dari tiga isterinya, KH Zainal Musthafa memiliki lima putera dan puteri. Yakni dari isteri pertamanya Enoh dua anak Muhamad dan Siti Sopiah; dari isteri keduanya Anda memiliki satu anak (alm) Siti Juaeriah; dan dari isteri ketiganya Ecin Kuraesin memiliki dua anak (alm) Endang Nazarudin dan Atik.

Namun ternyata bergantinya kekuasaan dari Belanda ke Jepang tidak membuat keadaan berubah, berbagai bentuk penindasan dari penjajah semakin dirasakan menyengsarakan rakyat. 

Hingga membuat KH Zainal Musthafa membuat keputusan untuk melakukan perang terbuka terhadap Jepang dan dilakukan bersama ratusan santrinya dari dalam Pondok Pesantren.

Bangkitnya perlawanan terhadap penjajah Jepang saat itu bermula dari penolakan KH Zainal Musthafa terhadap ritual menyembah Matahari dengan istilah Seikerei, dimana jika pagi hari masyarakat bahkan ulama dikumpulkan di alun-alun Singaparna untuk Seikerei. 

Satu-satunya yang berani menolak ritual itu KH Zainal Musthafa, karena menurutnya ritual itu sudah termasuk menyembah Matahari sehingga kalau umat Islam melakukannya bisa jadi musyrik atau menyekutukan Allah SWT.

Puncaknya, pada tanggal 25 Pebruari 1944 KH Zainal Musthafa berencana mengadakan perlawanan terhadap penjajah Jepang, hingga terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara santri yang bersenjatakan bambu runcing dan penjajah yang bersenjatakan senapan modern. 

Hingga tercatat 86 orang pasukan Sukamanah gugur dan empat orang disiksa di Singaparna, dan ada juga yang disiksa hingga meninggal di penjara Tasikmalaya dua orang, kemudian meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung 38 orang dan cacat permanen hingga hilang ingatan 10 orang.

Sehari setelah pertempuran itu sekitar 700-900 orang ditangkap tentara Jepang untuk dijebloskan ke penjara Tasikmalaya, sementara KH Zainal Musthafa dibawa ke Jakarta. 

Hingga tersiar kabar jika beliau serta murid-murid pejuangnya dieksekusi mati tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta. 

Hingga pada tanggal 25 Agustus 1973 makam para suhada itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah.

Editor : Asep Juhariyono

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut