TASIKMALAYA, iNewsTasikmalaya.id – Pengertian pseudo pustula pada cacar monyet bisa Anda simak dalam artikel ini. Penyakit cacar monyet di dunia saat ini terus meningkat. Bahkan secara global, tercatat ada dua kematian baru di Eropa akibat cacar monyet.
Gejala cacar monyet secara umum adalah adanya tanda-tanda khas pada kulit, seperti adanya ruam, demam, sakit kepala, dan terjadi pembengkakan pada kelenjar getah bening.
Berdasarkan terbitan British Journal Dermatology, tinjauan terbaru pada 185 kasus cacar monyet teridentifikasi gejala baru. Peneliti dari Spanish Academy of Dermatology, dr Ignacio Garcia Doval, mengatakan, gejala kulit baru pada cacar monyet disebut sebagai pseudo pustula.
Gejala ini termasuk yang tidak biasa dan ada bukti bahwa itu disebabkan oleh kontak kulit ke kulit saat berhubungan seks. “Bukan ruam umum yang terlihat pada kasus sebelumnya, kasus-kasus baru-baru ini cenderung memiliki lesi kulit yang jauh lebih sedikit, sering kali tampak di satu lokasi,” ujarnya.
Cacar monyet berasal dari keluarga virus yang sama dengan penyebab cacar sebagai penyebab pustula. Namun, petugas medis telah melihat tanda baru yang muncul di kulit yaitu pseudo pustula.
Lantas, apa pengertian pseudo pustula pada cacar monyet?
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pseudo memilik arti semu. Sedangkan pustula berarti gelumbung pada kulit yang berisi nanah. Pengertian pseudo pustula pada cacar monyet mirip dengan pustula, tapi ada perbedaan di mana warnanya putih, padat, dan sebenarnya tidak berisi cairan atau nanah.
Lapisan atas pustula dapat dikorek untuk mengeluarkan nanah di dalamnya. Namun, berbada dengan pseudo pustula karena isinya pada dan dapat menyebabkan bisul.
Sementara itu, dr. Robert Sinto, Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, menyebutkan, virus Monkeypox atau cacar monyet telah bermutasi dengan sangat cepat.
Data tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sekelompok peneliti di Amerika Serikat, bahwa di tahun 2022 rata-rata ditemukan 50 mutasi strain baru Monkeypox dibandingkan dengan tahun 2018 sampai 2019.
Mutasi ini, kata dr. Robert terlihat dari perbedaan karakteristik antara Monkeypox di negara endemis seperti Kamerun, Benin, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Ghana (hanya diidentifikasi pada hewan), Pantai Gading, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, dan Sierra Leone dengan negara non endemis.
“Itu kenapa muncul hipotesis mengapa tampilan klinisnya agak berbeda dengan tampilan klinis yang kita temukan di Africa dalam beberapa bulan terakhir,” kata dr. Robert Sinto dikutip dari laman resmki Kemenkes RI, Jumat (5/8/2022).
Menurut Robert, sebelumnya gejala Monkeypox di negara endemis terlihat dari lesi kulit yang menyebar di seluruh tubuh. Namun setelah terjadi mutasi, lesi kulit hanya terlihat di beberapa bagian tubuh saja seperti mulut, telapak tangan, muka, dan kaki.
Perbedaan lainnya, Monkeypox di Afrika dapat menginfeksi semua kelompok umur mulai dari anak-anak hingga lansia. Sementara karakteristik Monkeypox di negara non endemis, kasus Monkeypox didominasi oleh laki-laki dengan rata-rata usia sekitar 37 tahun.
“Meski banyak dialami laki-laki, namun penyakit ini tidak segmented. Semua orang memiliki potensi tertular virus ini. Saat ini masih dilakukan penelitian oleh WHO,” ujarnya.
Selain menyebabkan perubahan karakteristik virus, strain baru Monkeypox diduga juga mengubah cara penularan sehingga lebih cepat menular. Hal ini menyebabkan kenaikan kasus yang signifikan di berbagai negara.
Berdasarkan data WHO per 27 Juli, Monkeypox telah menginfeksi sekitar 17.150 orang di 75 negara dengan tingkat kematian mencapai 11%. Angka ini mulai meningkat pada Juli 2022.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menjelaskan karakteristik penularan dari penyakit tersebut.
“Kalau dari hewan ke manusia penularannya melalui kontak langsung antara hewan dan manusia,” katanya.
Penularan dari hewan ke manusia melalui cairan tubuh terutama bagian tubuh yang ada cacar seperti di sekitar muka atau tubuh hewan. Selain itu juga penularan ke manusia bisa melalui daging hewan tersebut yang tidak dimasak secara matang.
Sedangkan penularan dari manusia ke manusia bisa melalui udara, cairan tubuh atau cacar yang ada di muka, mulut, tangan maupun di badan. Kalau kontak langsung juga ada melalui saluran napas atau terjadi droplet.
“Ini juga bisa menjadi sumber penularan dan juga ada penularan dari ibu ke bayi melalui transmisi atau plasentanya,” ucap dr. Syahril.
Masa inkubasi cacar monyet berlangsung antara 5 sampai 13 hari atau 5 sampai 21 hari. Ada dua periode, pertama masa invasi, terjadi 0 sampai 5 hari terjadi demam tinggi, sakit kepala yang berat, dan ada benjolan atau pembesaran kelenjar limfa di leher, kemudian diketiak, atau selangkangan.
Kedua, masa erupsi, terjadi 1 sampai 3 hari pasca demam, terjadi ruam pada kulit, ruam pada wajah, telapak tangan, kaki, mukosa, alat kelamin, dan selaput lendir mata.
“Cacar monyet ini bisa sembuh sendiri setelah 2-4 minggu pasca masa inkubasinya selesai. Penyakit ini akan sembuh sendiri tidak terlalu berat. Dari negara-negara yang melaporkan kasus monkeypox hanya sekitar 10% pasien dirawat di rumah sakit,” ucap dr. Syahril.
Editor : Asep Juhariyono