CIAMIS, iNewsTasikmalaya.id – Untuk pertama kalinya, seni pertunjukan tradisional Wayang Potehi dipentaskan di Ciamis dalam Pagelaran Seni Budaya Tionghoa Nusantara yang digelar di Gereja St. Yohanes, Selasa (11/2/2025) malam.
Acara ini menjadi bagian dari perayaan Cap Go Meh 2025 dan menghadirkan perpaduan unik antara Wayang Potehi khas Tionghoa dan Wayang Golek khas Sunda.
Lebih dari 100 penonton hadir dalam pagelaran ini. Pertunjukan diawali dengan Wayang Golek yang menghadirkan karakter ikonik Cepot sebagai pembuka, sebelum berlanjut dengan Wayang Potehi yang dibawakan oleh Potehi Xiao Peksan dari Jakarta, berkolaborasi dengan senior grup Potehi Fu He An dari Gudo, Jombang, Jawa Timur.
Dalang Wayang Potehi, Andhika Pratama, menyebut kolaborasi ini sebagai sebuah eksperimen seni yang membuka ruang interaksi antara dalang, MC, dan penonton.
“Ini pertama kalinya Wayang Potehi dan Wayang Golek berpadu, apalagi di tempat ibadah seperti gereja,” ujar Andhika.
Malam itu, kisah yang dipentaskan adalah "Si Jin Kui Cinta", tentang seorang pendekar perantauan bernama Si Jin Kui yang berjuang mengabdi pada negara meski dihadang pejabat korup.
Dengan ketulusan dan keberanian, ia berhasil menyelamatkan sebuah desa dari begal dan menyelamatkan seorang pejabat dari ancaman harimau, hingga akhirnya diterima sebagai prajurit kerajaan.
“Pesan yang bisa diambil adalah dalam setiap masalah kehidupan, kita harus tetap berpegang pada kebaikan dan kebenaran,” kata Andhika.
Dalang Wayang Golek dari Sanggar Genta Cakra Buana Giri, Rian Nugraha, mengaku terkesan dengan pertunjukan tersebut.
“Wayang Potehi sebelumnya hanya saya tonton secara virtual, tapi melihat langsung dan berkolaborasi seperti ini sangat luar biasa,” ujarnya.
Sekretaris Disbudpora Ciamis, Ega Anggara AlKautsar, turut mengapresiasi pagelaran ini sebagai bentuk ekspresi seni yang mencerminkan keberagaman Nusantara. “Seni adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan. Perhelatan ini mencerminkan betapa kayanya tradisi dan budaya kita,” katanya.
Selain hiburan, acara ini juga menjadi simbol harmoni dan toleransi antarbudaya serta antarumat beragama. Dengan diselenggarakan di Kampung Kerukunan, pagelaran ini memperlihatkan bagaimana keberagaman justru menjadi kekuatan yang mempererat persatuan.
Antusiasme masyarakat terlihat dari jumlah penonton yang sebagian besar baru pertama kali menyaksikan Wayang Potehi secara langsung.
Salah satu penonton asal Kota Tasikmalaya, Heni Hendini, menilai kolaborasi ini sebagai wujud nyata akulturasi budaya.
“Ini menunjukkan bahwa Indonesia berbineka, beragam budaya bisa menyatu. Apalagi banyak yang belum tahu bahwa ada warga keturunan yang sangat mencintai negara ini. Dengan adanya cerita seperti ini, anggapan itu bisa terkikis,” ujarnya.
Heni mengaku selama ini hanya mengetahui Wayang Potehi dari film-film kerajaan dan baru tahu bahwa kesenian ini sudah ada di Indonesia sebelum era Orde Baru, meski dulu hanya dipentaskan di kelenteng.
“Awalnya kami tidak tahu apa itu Potehi. Makanya banyak yang hadir karena penasaran. Wayangnya kecil, tapi pesannya tersampaikan, dan ketika dikolaborasikan dengan Wayang Golek, hasilnya luar biasa,” tambahnya.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait