Pada penjualan kuartal pertama yang berakhir pada 2 Januari, penjualan di gerai Starbucks yang dibuka setidaknya selama 13 bulan melonjak 13 persen secara global, dan 18 persen di Amerika Utara. Kenaikan ini sebagian didorong oleh harga yang lebih tinggi.
"Kami belum melihat dampak yang berarti terhadap permintaan pelanggan. Sebaliknya, permintaan pelanggan kami terus tumbuh," ujar Chief Operating Officer Starbucks John Culver.
Indeks harga konsumen AS, pengukur inflasi utama, naik 7 persen tahun lalu, sebelum penyesuaian musiman menurut Biro Statistik Tenaga Kerja. Kenaikan ini adalah lonjakan terbesar sejak Juni 1982, dan lebih tinggi dari perkiraan para ekonom.
Seperti banyak perusahaan lain, selain inflasi, Starbucks juga menghadapi biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Beberapa perusahaan besar menaikkan upah dalam upaya untuk menarik pelamar karena bisnis, terutama restoran, telah berjuang untuk mempekerjakan dari kumpulan tenaga kerja yang dangkal.
Tak terkecuali Starbucks, di mana pada Oktober tahun lalu perusahaan akan menaikkan upah setidaknya 15 dolar AS per jam untuk barista, dengan sebagian besar karyawan per jam mendapatkan rata-rata hampir 17 dolar AS pada musim panas.
Namun, menaikkan harga tidak mengurangi semua tekanan untuk Starbucks. Bahkan, dengan kenaikan tersebut, perusahaan melaporkan laba per saham 0,69 dolar AS pada kuartal tersebut, lebih rendah dari ekspektasi Wall Street.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait