TASIKMALAYA, iNews.id - Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan mulai tempat ataupun daerah yang telah mempunyai batas dengan kategori berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dan jalan, tempat antara pesawahan dan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dan hutan, dan sebagainya.
Masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan dan pada bulan atau waktu tertentu dianggap buruk dan pantangan atau tabu untuk tetap melaksanakan sesuatu pekerjaan yang penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Namun, warga juga selama ini ada larangan ketika masuk bulan sapar dan Ramadan agar tidak mengadakan upacara karena bertepatan dengan upacara menyepi.
"Warga Kampung Naga selama ini masih ada kenyakinan tempat yang dijadikannya sebagai tempat tinggal mahluk halus oleh masyarakat sebagai tempat yang angker dan di sana juga adanya tempat-tempat makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan tiga makan lain hingga masjid merupakan tempat dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Namun, masyarakat dilarang mengambil foto Bumi Ageung meskipun barangnya kosong setelah semua dokumen terbakar, tapi sisanya tinggal parabotan (peralatan) badi, keris, pedagang dan lainnya termasuk dua leuweung (hutan) tidak boleh," ujarnya.
Ucu mengatakan, Kampung Naga tidak pernah mengalami musibah selama ini karena warga tetap mematuhi kepercayaan sesuai dengan adat istiadat terutama menghormati warisan nenek moyang dan lingkungan selalu terjaga meski sejak dahulu sampai sekarang ini tidak pernah mengalami musibah banjir dan tidak ada angin.
"Warga yang melanggar adat Kampung Naga dan tidak menghormati para leluhur maupun nenek moyang dapat menimbulkan berbagai malapetaka, seperti halnya kekeringan, banjir, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan gagal panen.
Selama ini, warga Kampung Naga memiliki keturunan ahli waris yang sudah beranjak dewasa dan untuk membuka Bumi Ageung harus dilakukannya 8 tahun sekali karena dianggap sakral meskipun di dalamnya kosong dan yang tersisa hanya barang," paparnya.
Kampung Naga Tasikmalaya Masih Andalkan Kekuatan Alam Sekitar. (Foto: Instagram@kampungnaga_tasikmalaya)
Sementara itu, Kepala Desa Neglasari, Sobirin mengatakan, Kampung Naga menjadi objek kehidupan masyarakat pedesaan yang telah lama berdiri di dalam lembah subur dengan batas wilayah sebelah Barat Kampung Naga dibatasi hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Namun, setiap tamu yang mengunjunginya harus sopan menggunakan tutur bahasa halus, karena selama ini warga Kampung Naga kental dengan budaya lokal yakni bahasa Sunda.
"Kampung Naga masih melestarikan nilai para leluhur sesuai dengan adat kebudayaan dan mereka selalu menjaga budaya, hutan, lingkungan dan toleransinya tinggi terhadap warga di luar maupun dalam kampung.
Akan tetapi, mata pencaharian pokok mereka yakni hanya bertani, berdagang, berkebun, membuat kerajinan tangan, dan berternak tetapi untuk penduduk kampung naga yang bekerja di luar, setelah mereka pulang dari pekerjaan tidak boleh membawa budaya yang baru dari luar," katanya.
Menurutnya, Kampung Naga sendiri tidak memiliki titik terang dan tidak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta yang melatar belakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Karena, warga kampung Naga sendiri telah menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor" (mati, gelap), tetapi obor yang selama ini dikenal masyarakat penerangan, cahaya, lampu.
Namun, untuk status sosial dalam masyarakat kampung Naga selama ini saling gotong royong dan rukun antara masyarakat dengan yang lainnya.
"Masyarakat Kampung Naga sendiri selama ini masih tetap melestarikan lingkungan, hutan, alam, sungai, nilai leluhur dan saling tolong menolong, gotong royong termasuk tidak ada perbedaan antara suku, agama, kulit karena semuanya sama.
Sedangkan, di Kampung Naga sendiri selama ini selalu malakukannya syukuran atas hasil bumi maupun lainnya," pungkasnya.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait