JAKARTA, iNewsTasikmalaya.id - Sisi gelap dari profesi dokter mulai terungkap satu per satu, terutama setelah heboh kasus bunuh diri seorang dokter muda yang juga merupakan peserta PPDS Anestesi Undip Semarang, diduga akibat perundungan.
Kejadian ini membuat Dokter Tirta teringat akan sisi gelap profesi dokter, yang sering dipandang memiliki ‘image’ bergaji tinggi. Namun menurut Dokter Tirta, kenyataannya profesi dokter bisa sangat melelahkan, terutama jika tidak menjadi dokter spesialis atau tidak ditempatkan di lokasi yang strategis.
“Setelah masuk kuliah kedokteran, aku baru sadar bahwa menjadi dokter jika tidak menjadi spesialis itu sangat sulit. Bahkan jika menjadi spesialis, jika tidak berada di tempat yang menguntungkan, tetap saja sulit,” ungkap Dokter Tirta dalam sebuah podcast bersama Feni Rose, seperti yang dilansir dari YouTube Feni Rose Official.
Dokter Tirta juga menjelaskan bahwa menjadi dokter spesialis tidaklah mudah. Prosesnya memerlukan perjuangan yang berat, mulai dari masa kuliah yang panjang hingga gaji yang rendah saat memulai karir.
“Prosesnya seperti maraton. Kuliahnya sangat lama dan proses selanjutnya juga panjang. Setelah lulus sebagai dokter umum, harus menjalani internship dengan gaji yang pas-pasan dan harus berjuang keras selama lima tahun lagi untuk menjadi spesialis,” jelasnya.
“Setelah lima tahun, jika memiliki jaringan yang baik, akan bekerja di tempat yang menguntungkan, dekat keluarga, dan masih di Pulau Jawa. Namun jika mencari tantangan, bisa bekerja di daerah tiga T yang sangat menantang dan jauh dari keluarga,” tambahnya.
Dokter lulusan Universitas Gadjah Mada ini juga menceritakan pengalamannya saat menjalani koas pada tahun 2014, tepat saat program BPJS Kesehatan mulai diberlakukan di Indonesia.
Pada saat itu, Dokter Tirta mengira perjuangannya telah berakhir setelah menjadi dokter umum. Ia berpikir, setelah itu ia akan bertugas di puskesmas, mendapatkan SIP, dan menerima gaji sekitar Rp30-40 juta. Namun kenyataannya berbeda.
“Ketika itu sudah sangat kacau dengan antrean BPJS yang panjang. Aku pikir setelah jadi dokter umum, kita dinas di puskesmas, ambil 3 SIP, atau dokter-dokter kita sudah bisa mendapatkan gaji Rp30-40 juta. Ternyata tidak,” ujarnya.
Dokter Tirta malah hanya menerima upah shift jaga sekitar Rp100-150 ribu per hari. Dari situ, ia merasa bahwa profesi dokter sering kali tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan usaha mereka.
“Upah duduk saat itu masih Rp100-150 ribu sehari. Upah duduk itu adalah saat kita jaga tanpa banyak aktivitas, dan hanya mendapatkan segitu,” katanya.
Namun, di sisi lain, masyarakat sering menganggap profesi dokter adalah bentuk pengabdian yang harus dilakukan dengan ikhlas. “Ketika kita mengeluh tentang uang, masyarakat bilang, kan ini pengabdian. Tapi aku juga butuh uang untuk makan,” keluhnya.
Anggapan masyarakat yang salah mengenai profesi dokter membuatnya merasa miris dan kesal. Dokter Tirta merasa bahwa dokter juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Kita juga merupakan profesi, tetapi ketika kita mengeluh tentang uang, selalu ada pembelaan, ya kamu kan pengabdian, kalau tidak siap kenapa jadi dokter?” ungkapnya.
Dokter Tirta menyimpulkan bahwa profesi guru dan dokter di Indonesia sering dianggap harus dibayar murah. Padahal, menurutnya, harga layanan kesehatan ditentukan oleh kebijakan rumah sakit, bukan oleh dokter itu sendiri.
“Bagi mereka, guru dan dokter harus dibayar murah. Yang menentukan mahal atau tidaknya adalah rumah sakit. Aku tidak peduli di situ,” tutupnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait