Lha kae, kembang semboja ing saknduwure pasareanku kae, — petiken kembang iku, ambunen, gandane rak gandaku. Dudu ganda kembang, nanging sawijining ganda kang ginawe saka rasa-cintaku. Sebab, oyote kemboja mau mlebu ing dadaku ing kuburan.
Masmu
Sukarno
Isi terjemahannya: Yatie, adikku yang ayu, Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya?
Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga). Masak aku tidak senang, lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
Tie, surat-suratku ini tolong disimpan, ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kalau aku mau pindah rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa.
Coba kaupejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho, tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!
Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana.
Masmu
Sukarno
Netizen yang membaca surat cinta Bung Karno ikut larut dalam romantisme tersebut.
"Setttr pantes klepek2 yah. Emg puitis. Jago merangkai kata. Bapaknya siapa dulu dong," tulis @asayasmina.
"Raja Gombal versi masa perjuangan...????????...al fatihah buat si Bung," tulis @dmaryand.
"Romantisme level Dewa," tulis @gede_surya81.
"Ampuuun romantisnya bapak proklamator," tulis @kkjuntak.
Itulah salah satu surat cinta sang proklamator Bung Karno untuk istrinya Haryati yang dinikahinya pada dinikahinya 21 Mei 1963.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait